The Unspeakable Sorrow

Ada perasaan yang mudah dideskripsikan dengan kata. Senang, sedih, kecewa, marah. Tapi ada juga yang tidak mudah diekspresikan. Jika harus ditulis, mungkin hanya jadi satu tanda titik sarat makna di atas lembar kosong. Atau malah jadi sebuah essay yang panjang demi menjelaskan detil-detil kompleksitas perasaan itu.


--

How do you deal with loss?
Beberapa hari yang lalu, gereja dan keluarga kami kehilangan seorang teman dekat. Kejadiannya cukup cepat dan mengagetkan. Kami sama sekali tidak menyangka, tidak siap. And, truth be told, the news broke my heart, as well.

First, you reminisce of all the happy memories you’ve made. Each sentence and laughters, and maybe tears. Unique remarks, incidents, and experiences you went through together.  Then you think about the conversations you haven’t had. How you haven’t said I love you or offer your apologies. How you promised to see each other soon. And a little regret creeps in.
Tapi kenyataannya, tidak ada yang bisa disesali. The baton has been passed over. Dan seperti marathon, kini kita yang harus berlari mencapai garis finish kita sendiri.

Tuhan memang tidak bisa ditebak, dan kadang tidak bisa dimengerti. Dia punya sistem-sistem yang seakan berbeda dari apa yang bisa kita mengerti. Sepertinya masih banyak yang bisa mereka lakukan untuk Dia – mereka yang sudah kembali ke Surga. Tapi ternyata memang bukan bagian mereka untuk melakukannya. Menurut Tuhan, bagian mereka sudah selesai, waktunya kembali bersama dengan Dia. Bersuka cita di Surga, memuji menyembah Tuhan dengan sorak-sorai.  

Kadang aku jadi geli sendiri. Mereka-nya di detik ini sedang tertawa, atau bernyanyi, atau menari, dan di dalam hati, kita sepatutnya ikut bersyukur dan bahagia. Tapi di luar, kita masih menitikkan air mata. Tapi memang kehilangan itu berat. Seperti ada satu kursi yang kosong di auditorium yang penuh. Ingin reflek mengangkat telepon untuk menghubungi teman tersebut, lalu menyadari, sudah tidak bisa lagi kita dengar suara dan perkataannya secara langsung. Sedang dunia terus berputar, ada sebuah bintang yang tidak lagi bersinar dan merubah konstelasi.

Semakin bertambahnya umur, aku jadi semakin mengerti perasaan-perasaan ini. Bukan hanya bersedih karena kehilangannya, tapi karena I can’t help but wonder, what happens to us now? What happens to the family, now?

I can’t speak too much on this. Aku sendiri tidak tahu.

Tapi hanya satu yang aku bisa katakan. Dalam suasana apapun, perasaan apapun – baik sukacita, sedih, and everything in between, kita perlu menyadari bahwa hidup kita memang punya Tuhan. Hidup kerabat dan sahabat kita juga punya Tuhan. Dia yang memberi kehidupan, menuntun perjalanan, dan memanggil pulang. Dia juga yang akan memberi kekuatan pada yang ditinggalkan, mencukupkan segala keperluan, dan menjadi penghiburan. Dia adalah pemberi dan pemenuh segalanya. Kita perlu bergantung bukan pada manusia, tapi pada Dia.

And with this, after a reflection their legacies, celebration of their lives, and planning strategies to carry on their work, we shall laugh again and continue to walk. With Him. Towards Him. Until it’s our turn to come back home.

  

--

In memory of Ps. Edo Lantang. God's peace and joy be with the family and friends.
Also a loving tribute to my late great-grandmother. 


"He must increase and I must decrease."

Comments

Popular Posts