Confession of a P.K.

It's surprising sih nggak begitu banyak orang yang tanya, “Rasanya jadi anak pendeta itu gimana?” Nggak sebanyak yang kubayangin hehe. Mungkin orang nggak peduli (asik), mungkin juga nggak inget, walaupun kalau ada yang bilang (atau kalau pas ngaku) aku anak pendeta, pasti ada that look. Entah kagum atau takut.

And I’ve never written about it yet, karena aku tahu pengalamanku dan pengalaman pastor’s kids (PK) lainnya akan berbeda-beda.
Bukan masalah pengalamanku lebih baik atau lebih buruk: tidak ada pengalaman yang sama. Itu saja. I don't want you to read this and generalize this as everyone's experience. 

HOWEVER, if you still want to know my story & my opinion, here it goes:

I love being a PK. I owe my life to it.

Buat yang baru tahu dan justru kaget - ha! 
My parents adalah gembala senior dari sebuah gereja lokal di Semarang. 
And I'm one of their two daughters. Hence, I'm a PK. 


I think I happen to be lucky & blessed that my parents always make time for me.
Aku bukan tipe anak pendeta atau aktivis gereja yang sering ditinggal-tinggal ‘demi pelayanan’.
Kalaupun mereka harus pergi untuk acara gereja atau pelayanan, ada 3 kemungkinan untuk kami anak-anak (terutama waktu masih kecil):

Satu, ikut ke gereja. Biasanya kalau ada meeting, atau pertemuan doa, waktu kami masih kecil ya kami diajak saja. Duduk di ruangan, mendengarkan meeting atau seminar. Aku dan adikku nggak terlalu cerewet dan aktif sih mungkin, jadi nggak terlalu mengganggu.

Dua, Papa dan Mama bergantian. Seringnya Papa sih yang pelayanan atau meeting di luar kota, nah Mama yang menjaga kami. Kami juga mencoba menyempatkan telepon atau Facetime, jadi tetap terhubung. Atau kalau gentian Mama yang mengisi acara wanita, ya kami kadang ikut, kadang ditemani Papa, atau kadang ikut menjemput kalau sudah selesai bersama Papa.

Tiga, Papa Mama pergi bersama. Tapi jarang, mungkin setahun cuma satu kali. Ini kesempatan untuk aku dan adikku belajar mandiri juga saat menginap di tempat Opa-Oma. Biasanya kami tetap komunikasi lewat telepon, dan diberi oleh-oleh yang setimpal :D
Satu rule yang aku sangat hargai adalah mereka berusaha untuk ada di hari-hari penting dalam hidupku. Ulang tahun, graduation, hari pertama masuk sekolah (TK, SD, dan college doang sih HAHA).

Waktu aku masih sekolah (dari kecil sampai SMA-ish), Papa memang lebih sering pergi daripada sekarang. Biasa durasinya lebih panjang. Antara beberapa hari sampai dua mingguan. Ke tempat-tempat yang unik-unik juga, dari Jakarta sampai ke Amerika, dan pernah ke Afrika juga.
Mungkin buat aku, kepergian Papa buat pelayanan nggak pernah jadi beban sih, malah seru mendengar cerita-cerita dari sana.

Aku juga bisa melihat balance-nya pelayanan ke luar dan pelayanan di gereja local kami. Sebagai gembala sidang, Papa selalu menjadwalkan a certain number yang dia kotbah sendiri, baru yang lain nanti diisi pembicara tamu.

Jadi in terms of pelayanan mereka, nggak terlalu berdampak apa-apa sih ke keluarga kami sendiri. Ya aku menganggapnya sih seperti keluarga lain – ada yang papa mamanya kerja di kantor, ada yang kerja di luar kota. Sama saja.



Nah, tapi gimana dengan ‘pressure’ dari orang lain? Ada nggak?
HAHA. What do you think?
Pernah nggak kita lihat anak pendeta lain dan mikir, “Ih, dia kan anak pendeta. Masa’ gitu sih?”
Kalau nggak pernah – thank you!! Tapi aku sendiri sih pernah xD Walaupun temenku juga banyak yang PKs HAHA.  hadeh.

Kenapa sih PK suka dibanding-bandingin atau diperhatikan orang? Mungkin nih, karena Papa/Mama kita ‘rohani’, anaknya di-expect untuk jadi ‘rohani’ juga ya?
Itu sih yang susah, ekspektasi orang. Orang menganggap orang tua kita ada di sebuah standard, yang juga harus kita penuhi. 

Tapi bayangkan berapa banyaknya orang yang tahu kalau aku PK lalu berekspektasi: di Semarang, satu gereja ada (anggep aja) 1,000 jemaat (past&present), lalu ada jemaat gereja lain yang tahu karena Papa/Mama pernah bicara di gereja mereka, kemudian ada teman-teman sekolah/guru yang tahu, lalu juga ada orang dari luar kota yang kenal karena pelayaan (atau sekarang seringnya karena Instagram) Papa/Mama. HAHAHAHA.
Makanya, I love being in Melbourne, karena di sini aku nggak terlalu dianggap sebagai PK. I'm just Christie. Sama halnya ketika kami lagi liburan keluarga - we're just normal.

Di satu sisi, mungkin maksudnya orang tua kita harus bisa mencontohkan atau mendisiplin, menegaskan kita sesuai dengan apa yang mereka ajarkan ke orang lain, ya. Misalnya kalau mengajar anak-anak SMA tentang nggak boleh pacaran dulu, ya berarti anaknya juga harus demikian. Kalau ngajar orang lain tentang pelayanan, anaknya harus pelayanan. 

Betul sih, ini. Anak-anak bisa jadi refleksi dari nilai-nilai yang dipengag oleh orang tuanya. And I try to be very conscious about this. Tentu saja I love my parents and I don’t want to make them look bad.

Di sisi lain, mungkin they are thinking of ‘standart kerohanian’? Anak pendeta harus rohani? Harus tahu banyak tentang Alkitab? Harus bisa memimpin? Harus bisa sharing/kotbah di depan, mimpin pujian, mimpin doa, mimpin cell group, mimpin departemen, dkk dll dst?

Ini jawabanku: I’m me. I’m not my parents.
Sama seperti anak dokter yang nggak bisa di-expect untuk hafal segala jenis penyakit hanya karena papanya dokter, aku juga nggak bisa sampai ke tahap seperti itu tanpa terlebih dahulu melewati proses yang lamanya tahunan juga. Tanpa mendapat pendidikan/pengetahuan yang setara juga.
Yang bisa Papa dan Mama ku tularkan hanyalah passion mereka. Pengalaman dan pengetahuan harus aku gali sendiri. Aku juga harus menemukan style dan celahku sendiri di dunia ‘gereja’ dan dalam hubunganku dengan Tuhan.

Jadi misal aku dipercaya jadi leader, untuk sharing, dan lain sebagainya, jangan kaget kalau nggak sesuai ekspektasi ya HAHA. I’m 21-ish. I’m not an old soul – I’m still learning!



Tapi tentu saja bukan cuma soal prinsip dan ‘kerohanian’ kan, tapi segala aspek hidupku bakal secara tidak langsung dilihat oleh orang lain dan orang juga punya ekspektasi di bidang lain, misal,
Aku berpenampilan seperti apa?
Sekolah di mana/apa?
Karir apa?
Pacaran kayak gimana – sama siapa?
Dengerinnya lagu yang kayak gimana? Cara ngomongnya gimana?
Banyak lah.

But, doesn’t it happen to everybody? Pasti semua orang, terlepas dari orangtuanya siapa, akan dilihat dan di kritik kan?

Aku justru menjadikan ini tempat untuk belajar – yes I try to play it safe, tapi juga aku berusaha menemukan alasan yang tepat yang sesuai dengan my own conviction.

Misalnya, aku memilih pakaian yang lebih ‘konservatif’. Bukan cuma karena ‘anak pendeta’ jadi nggak boleh yang terlalu 'aneh-aneh', tapi juga aku lebih mau menjaga diri. Mendekorasi ‘bait Allah’ – yang adalah aku dan kita semua – dengan lebih baik, versiku. Sayangnya aku belum seanggun the two young duchess of the Royal Family but that’s what I’m aiming for HAHA – ah nggak penting; I’m digressing.

Kalau soal bidang studi dan karir yang agak out there – jadi “pekerja seni” ketimbang jadi karyawan dengan title kerja yang jelas (ilmuwan, pengacara, dokter, dkk), sekolah writing dan bahasa ketimbang sekolah Alkitab, pilihanku memang banyak dipertanyakan. Nggak hanya oleh jemaat dan teman-teman kok, tapi sama keluarga sendiri juga dipertanyakan xD Mau kerja apa? Dapat uang berapa? (Baru di sini nih jawabnya rohani: Nanti Tuhan sediakan. Amin. Lha aku sendiri juga nggak tahu). Hehe. Tapi justru aku berharap dengan platform yang aku punya, akan jadi kesempatan juga buat mengedukasi orang tentang bidang yang (akan) aku tekuni.

Nah soal pertanyaan/kritik yang lainnya I’ll play it by ears. Ya itu tadi – semua orang juga akan dihadapkan dengan pertanyaan yang sama kok. Cuma beda skala saja mungkin. 



So, what do you think?
Aku sih merasa semua masih normal aja. Untuk aku pribadi, pengalamanku sebagai anak pendeta masih ada dalam batasan yang wajar. Nggak terlalu ekstreme – aku merasa seperti teman-temanku yang lain, sama saja. Dan aku rasa over time ekspektasi orang akan berkurang. Entah deh. 


Tapi justru, sebetulnya, there are a lot of perks being a PK :D
Aku belajar banyak. BANYAK.

Satu – aku belajar banyak materi dari kecil :D Hehe. Mungkin yang bentuknya seminar, pengajaran, dan lain-lain. Semua udah tertanam di otak tanpa perlu disuruh ikut ini-itu. Ya natural saja, karena ikut Papa dan Mama saat mengajar, aku jadi ikut belajar.

Dua – aku belajar ilmu management dan organisasi ya dari gereja. Saat ikut meeting ini itu, aku belajar bahwa gereja dan semua aspeknya perlu diatur dengan baik dan rapih. Setiap struktur kepengurusan, setiap acara, setiap departemen, harus rapi.

Tiga – aku belajar untuk terus belajar. Aku melihat bagaimana Papa mengajar pekerja dan jemaat gereja untuk tidak berhenti memperkaya diri dengan ikut seminar, baca buku, dan lain-lain. Bahkan di IFGF, salah satu DNA kita adalah ‘cutting edge’ – selalu relevan dan selalu baru. Inovatif. Ya baru bisa inovatif kalau terus belajar.

Empat – aku dapet koneksi super banyak :D I’ve seen great pastors up close, dan biasa berkesempatan untuk makan siang/malam bareng. Di situ aku bisa mendengar mereka bicara tentang apa saja – baik tentang gereja maupun tentang hal yang biasa saja, tapi aku belajar banyak dari mereka juga. Aku juga dapat teman-teman yang keren – yang adalah jemaat kami! Mungkin kalau jemaat biasa, bisa nggak saling kenal. Tapi karena PK, ya paling nggak harus tahu sedikit-sedikit lah  ini siapa, itu siapa. Man, there are a lot of wonderful & amazing people in our Church, doing great things in the Church & out there in their work!

Lima – I’ve been able to see up close how God is working in our Church. Mujizat, pemeliharaan, kebutuhan yang dipenuhi. Imanku bukan diturunkan dari orang tuaku – tapi karena aku ada di environment ini dan bisa melihat secara langsung, it helps with my own personal journey as well.

Enam – people are praying for you and your family. Ini yang I will always be grateful for. I don’t always remember this, tapi aku akan mensyukurinya mulai dari sekarang. Terima kasih buat yang sudah berdoa untuk my Dad & Mom, and their family :)

Tujuh, delapan – masih banyak. Endless. Mungkin kapan-kapan aku sambung lagi post ini :)

Puji Tuhan aku tumbuh di gereja yang nggak begitu banyak ‘politik’. Aku tumbuh di gereja yang penuh kasih, passion for God, penuh energi juga.


Pengalamanku nggak sama dengan pengalaman adikku, apalagi PKs lain. Semua keluarga dan PK punya pengalamannya masing-masing.
Tapi semoga sekarang you can see why I love being a PK. It's an amazing life. I wouldn’t trade it with the world.




P.S. Nah, beda nih kalau ditanya ‘mau jadi pendeta nggak?’
Saat ini sih enggak ya. HAHA. Jangan mentang-mentang anak pendeta terus disuruh jadi pendeta juga dong.
Gitu, sih.

Comments

Popular Posts