Nevertheless

Kali ini aku mau cerita:
Kalau ada yang pernah lihat iPad-ku, mungkin tahu. Sudah setahun ini dia retak. Tepat di sebelah home button-nya,  bolong sampai kelihatan ada semacam chip beserta nomor serialnya di dasar layarnya. Kaca layarnya juga retak, dari bawah pol sampai atas.

Hari ini aku sudah biasa melihat iPadku seperti itu. Tapi aku mau cerita tentang hari di mana iPadku retak. Hari itu, aku sama sekali nggak senang.






Hari itu hari Jumat. Hari yang cukup sibuk, karena begitu banyak yang harus aku lakukan. Ketemu temen, bikin-bikin kue (hehe), bikin tugas, lalu ada internship. Mood-ku in general  hari itu juga kurang baik. Terlalu sibuk, terlalu capek, banyak memikirkan tugas, gitulah.

Siang itu aku belajar di rumah teman setelah baking. Aku duduk di kursi tinggi,semacam kursi bar begitu, menghadap sebuah kitchen island  dengan laptop dan iPadku di atasnya.

Aku lagi asik-asik bikin tugas, eh tiba-tiba saja iPadku ini berontak. Tiba-tiba dia berubah dari posisinya yang (menurutku) stabil, dan terjun jatuh ke lantai. Memang sih, case iPadku sudah mulai tua dan nggak sekuat dulu membuat iPadku bisa 'berdiri'. Tapi tetap kaget waktu tiba-tiba suara keras itu terdengar.
Dan untuk informasi: iPadku ini sudah sering jatuh. Berkali-kali jatuh. Tapi biasanya mungkin jatuh ke karpet, atau terlindungi oleh case-nya.
Kali ini dia terjuh ke lantai yang berkarpet, tapi sebelum mencium karpet, dia mampir dulu ke kaki kursi bar yang terbuat dari metal.
Waktu aku angkat iPadku yang menghadap ke bawah, nggak terpikir sama sekali bahwa saat aku balik iPadku ini, aku akan mendapatinya berubah. Begitu saja. Lebih cepat dari waktu Thanos snapped his fingers. Aku nggak pernah lagi lihat iPadku yang lama.

I was so mad. At myself a little bit, & at the iPad. Yes, I’m that person who blame dead objects for acting weird.
Tapi terus bisa apa? Hal pertama: aku coba pakai iPadku. Untung tidak apa-apa. Phew.
Lalu aku cepat-cepat ribet di laptop, cari Apple store terdekat. Aku cepat-cepat cari tahu apakah kerusakan seperti ini bisa diperbaiki. Aku cepat-cepat kontak orang Apple lewat live chat, bahkan hampir membuat reservasi untuk membetulkan layar iPadku.
Sepanjang sore itu, ngerjain tugasnya terlantarkan. Nggak fokus. Hatiku gundah terus. Antara guilty, marah, sedih, dan bingung. Ini harus apa? Bisa diapakan? Buat aku saat itu, kalau tidak bisa dibetulkan, mending aku jual iPadku ini lalu beli yang baru. I couldn’t live with this. I wanted my old iPad.
Aku fokus ingin membuat iPadku kembali seperti semula. Mulus, tanpa cela. Sempurna.


Akhirnya dengan mood begitu, aku menyudahi sesi belajar dan waktunya untuk pindah ke tempat internship.

Tempat internshipku adalah sebuah ruangan yang disulap jadi teater kecil. Tugasku adalah sebagai semacam ‘stage crew’, dan pos-ku adalah sebuah ruangan gelap dan dingin di belakang panggung, hanya ditemani sebuah lampu biru dan penghangat ruangan kecil, karena saat itu masih terasa seperti musim dingin. Pertunjukan berjalan selama empat jam, termasuk 3 break masing-masing lima belas menit, dan mostly aku sendiri. Ruanganku hanya dipakai untuk menyimpan beberapa property dan tempat singgah.

Dan di situlah aku mulai belajar untuk menarik nafas dalam dan berpikir.

Aku membawa sebuah buku dan bolpen. Tujuan awalnya sih untuk mencatat setiap gerakan yang harus aku lakukan selama pertunjukan. Tapi karena sudah beberapa kali berlatih dan tampil, aku sudah lumayan hafal. Jadi, buku ini sekalian untuk media corat-coret saat menunggu ‘cue’ berikutnya.
Malam itu, pikiranku kembali lagi ke iPadku yang cacat. Pikiran-pikiran lain pun ikut menyeruak.

Tapi tiba-tiba saja aku tergerak untuk menulis. Bukan menulis kekesalanku: kali ini, aku ingin menulis doa ucapan syukur. Berat menggerakkan bolpen malam itu, tapi ini yang aku tulis: (dengan sedikit editing)
Lord,
Teach me to give thanks. In a day when my iPad fell & broke its screen into pieces, when I feel like I’m over indulging, when I find that my grades not as high as I wanted it to be, and when fantasies are shattered, teach me to count Your blessings nevertheless.
For AiA (*nama pertunjukannya) & the wonderful casts and crews. For friendship, for being in Melb & studying in one of the best uni in the country. For having my sister here to share the uneasiness, for having a phone & iPad that still work nevertheless. For having food on my table and shelter over my head, for a heater in cold Melb night.
Lord, I’m not in my best mood, but teach me to worship and be thankful nevertheless.
You are good, Lord. Even in my worst days, You are here with me, and You are good. 08/09/17.”

(Agak lebay juga, ya. Hehe.)
Rasa nyesek itu tidak lantas hilang, cling!
Masih ada, masih nyesek, even setelah aku mencoba 'bersyukur'. Tapi perspektif-ku mulai berubah. Paling tidak, ‘komplain’ lain nggak bisa lagi masuk hari itu.

Pulang malam itu rasanya lebih tenang dari sore yang hectic. Dan walaupun awalnya aku masih khawatir kalau iPadku akan tambah parah (ada beberapa pieces kecil yang masih ‘rontok’ beberapa hari itu), dan masih sedih, tapi aku belajar yakin bahwa it’s okay if my iPad’s not perfect.
Hidup nggak sempurna. Nggak pernah bisa sempurna. Tapi it’s okay. It’s life. Life’s beautiful nevertheless.

Hari ini, setahun setelah hari itu, iPadku masih dalam keadaan yang sama. Alasannya belum diperbaiki bukan ‘supaya aku ingat terus,’ dll.
Simply: karena (kayaknya) mahal dan belum sempat :p HAHA.
Hopefully someday aku bisa betulin iPad ini. Agak kesayangan, karena banyak kenangan, dan juga kadang aku suka takut jariku ke-beset retakannya. Tapi so far nggak pernah sih, PTL :D

That’s life, isn’t it?
Selalu akan ada yang membuat kita kesal, sedih, kecewa, marah, galau, stress.
Tidak selalu akan ada kesempatan untuk ‘rectify’ things. Untuk membenahi, menata ulang, memulai dari awal, dan lain-lain.

Tapi harapanku, bahkan di saat seperti itupun, kita akan selalu menemukan cara untuk bersyukur dan be okay.
Bukan bersyukur atas apa yang tidak kita derita, tapi bersyukur atas ribuan hal baik yang sudah terjadi sampai hari ini.

Pasti ada.

Comments

Popular Posts