Confession of a P.K.
It's surprising sih nggak begitu banyak orang yang tanya, “Rasanya
jadi anak pendeta itu gimana?” Nggak sebanyak yang kubayangin hehe. Mungkin orang nggak peduli (asik), mungkin juga nggak inget, walaupun kalau ada yang bilang (atau kalau pas ngaku) aku anak pendeta, pasti
ada that look. Entah kagum atau takut.
Buat yang baru tahu dan justru kaget - ha!
Tujuh, delapan – masih banyak. Endless. Mungkin kapan-kapan aku sambung lagi post ini :)
Pengalamanku nggak sama dengan pengalaman adikku, apalagi PKs lain. Semua keluarga dan PK punya pengalamannya masing-masing.
And I’ve never written about it yet, karena aku tahu
pengalamanku dan pengalaman pastor’s kids (PK) lainnya akan berbeda-beda.
Bukan masalah pengalamanku lebih baik atau lebih buruk: tidak ada pengalaman yang sama. Itu saja. I don't want you to read this and generalize this as everyone's experience.
Bukan masalah pengalamanku lebih baik atau lebih buruk: tidak ada pengalaman yang sama. Itu saja. I don't want you to read this and generalize this as everyone's experience.
HOWEVER, if you still want to know my story & my opinion, here it goes:
I love being a PK. I owe my life to it.
My parents adalah gembala senior dari sebuah gereja lokal di Semarang.
And I'm one of their two daughters. Hence, I'm a PK.
I think I happen to be lucky & blessed that my parents
always make time for me.
Aku bukan tipe anak pendeta atau aktivis gereja yang sering
ditinggal-tinggal ‘demi pelayanan’.
Kalaupun mereka harus pergi untuk acara gereja atau pelayanan,
ada 3 kemungkinan untuk kami anak-anak (terutama waktu masih kecil):
Satu, ikut ke gereja. Biasanya kalau ada meeting, atau
pertemuan doa, waktu kami masih kecil ya kami diajak saja. Duduk di ruangan,
mendengarkan meeting atau seminar. Aku dan adikku nggak terlalu cerewet dan aktif
sih mungkin, jadi nggak terlalu mengganggu.
Dua, Papa dan Mama bergantian. Seringnya Papa sih yang pelayanan
atau meeting di luar kota, nah Mama yang menjaga kami. Kami juga mencoba
menyempatkan telepon atau Facetime, jadi tetap terhubung. Atau kalau gentian Mama
yang mengisi acara wanita, ya kami kadang ikut, kadang ditemani Papa, atau
kadang ikut menjemput kalau sudah selesai bersama Papa.
Tiga, Papa Mama pergi bersama. Tapi jarang, mungkin setahun cuma
satu kali. Ini kesempatan untuk aku dan adikku belajar mandiri juga saat
menginap di tempat Opa-Oma. Biasanya kami tetap komunikasi lewat telepon, dan
diberi oleh-oleh yang setimpal :D
Satu rule yang aku sangat hargai adalah mereka berusaha
untuk ada di hari-hari penting dalam hidupku. Ulang tahun, graduation, hari pertama
masuk sekolah (TK, SD, dan college doang sih HAHA).
Waktu aku masih sekolah (dari kecil sampai SMA-ish), Papa
memang lebih sering pergi daripada sekarang. Biasa durasinya lebih panjang.
Antara beberapa hari sampai dua mingguan. Ke tempat-tempat yang unik-unik juga,
dari Jakarta sampai ke Amerika, dan pernah ke Afrika juga.
Mungkin buat aku, kepergian Papa buat pelayanan nggak pernah
jadi beban sih, malah seru mendengar cerita-cerita dari sana.
Aku juga bisa melihat balance-nya pelayanan ke luar dan
pelayanan di gereja local kami. Sebagai gembala sidang, Papa selalu menjadwalkan
a certain number yang dia kotbah sendiri, baru yang lain nanti diisi
pembicara tamu.
Jadi in terms of pelayanan mereka, nggak terlalu berdampak apa-apa
sih ke keluarga kami sendiri. Ya aku menganggapnya sih seperti keluarga lain –
ada yang papa mamanya kerja di kantor, ada yang kerja di luar kota. Sama saja.
Nah, tapi gimana dengan ‘pressure’ dari orang lain? Ada
nggak?
HAHA. What do you think?
Pernah nggak kita lihat anak pendeta lain dan mikir, “Ih,
dia kan anak pendeta. Masa’ gitu sih?”
Kalau nggak pernah – thank you!! Tapi aku sendiri sih pernah
xD Walaupun temenku juga banyak yang PKs HAHA. hadeh.
Kenapa sih PK suka dibanding-bandingin atau diperhatikan
orang? Mungkin nih, karena Papa/Mama kita ‘rohani’, anaknya di-expect untuk
jadi ‘rohani’ juga ya?
Itu sih yang susah, ekspektasi orang. Orang
menganggap orang tua kita ada di sebuah standard, yang juga harus kita penuhi.
Tapi bayangkan berapa banyaknya orang yang tahu kalau aku PK lalu berekspektasi: di Semarang, satu gereja ada (anggep aja) 1,000 jemaat (past&present), lalu ada jemaat gereja lain yang tahu karena Papa/Mama pernah bicara di gereja mereka, kemudian ada teman-teman sekolah/guru yang tahu, lalu juga ada orang dari luar kota yang kenal karena pelayaan (atau sekarang seringnya karena Instagram) Papa/Mama. HAHAHAHA.
Makanya, I love being in Melbourne, karena di sini aku nggak terlalu dianggap sebagai PK. I'm just Christie. Sama halnya ketika kami lagi liburan keluarga - we're just normal.
Di satu sisi, mungkin maksudnya orang tua kita harus bisa
mencontohkan atau mendisiplin, menegaskan kita sesuai dengan apa yang mereka ajarkan
ke orang lain, ya. Misalnya kalau mengajar anak-anak SMA tentang nggak boleh pacaran
dulu, ya berarti anaknya juga harus demikian. Kalau ngajar orang lain tentang
pelayanan, anaknya harus pelayanan.
Betul sih, ini. Anak-anak bisa jadi refleksi dari nilai-nilai
yang dipengag oleh orang tuanya. And I
try to be very conscious about this. Tentu saja I love my parents and I don’t
want to make them look bad.
Di sisi lain, mungkin they
are thinking of ‘standart kerohanian’? Anak pendeta harus rohani? Harus
tahu banyak tentang Alkitab? Harus bisa memimpin? Harus bisa sharing/kotbah di
depan, mimpin pujian, mimpin doa, mimpin cell group, mimpin departemen, dkk dll
dst?
Ini jawabanku: I’m me. I’m not my parents.
Sama seperti anak dokter yang nggak bisa di-expect untuk hafal
segala jenis penyakit hanya karena papanya dokter, aku juga nggak bisa sampai
ke tahap seperti itu tanpa terlebih dahulu melewati proses yang lamanya tahunan
juga. Tanpa mendapat pendidikan/pengetahuan yang setara juga.
Yang bisa Papa dan Mama ku tularkan hanyalah passion mereka. Pengalaman dan
pengetahuan harus aku gali sendiri. Aku juga harus menemukan style dan celahku sendiri di dunia ‘gereja’
dan dalam hubunganku dengan Tuhan.
Jadi misal aku dipercaya jadi leader, untuk sharing, dan
lain sebagainya, jangan kaget kalau nggak sesuai ekspektasi ya HAHA. I’m 21-ish.
I’m not an old soul – I’m still learning!
Tapi tentu saja bukan cuma soal prinsip dan ‘kerohanian’
kan, tapi segala aspek hidupku bakal secara tidak langsung dilihat oleh orang
lain dan orang juga punya ekspektasi di bidang lain, misal,
Aku berpenampilan seperti apa?
Sekolah di mana/apa?
Karir apa?
Pacaran kayak gimana – sama siapa?
Dengerinnya lagu yang kayak gimana? Cara ngomongnya gimana?
Banyak lah.
But, doesn’t it happen to everybody? Pasti semua orang,
terlepas dari orangtuanya siapa, akan dilihat dan di kritik kan?
Aku justru menjadikan ini tempat untuk belajar – yes I try
to play it safe, tapi juga aku berusaha menemukan alasan yang tepat yang sesuai
dengan my own conviction.
Misalnya, aku memilih pakaian yang lebih ‘konservatif’. Bukan cuma
karena ‘anak pendeta’ jadi nggak boleh yang terlalu 'aneh-aneh', tapi juga aku
lebih mau menjaga diri. Mendekorasi ‘bait Allah’ – yang adalah aku dan kita semua
– dengan lebih baik, versiku. Sayangnya aku belum seanggun the two young duchess of the Royal Family but that’s what I’m aiming
for HAHA – ah nggak penting; I’m digressing.
Kalau soal bidang studi dan karir yang agak out there – jadi “pekerja seni” ketimbang
jadi karyawan dengan title kerja yang jelas (ilmuwan, pengacara, dokter, dkk), sekolah writing dan bahasa ketimbang sekolah Alkitab, pilihanku memang banyak dipertanyakan. Nggak hanya oleh jemaat dan teman-teman kok, tapi sama keluarga sendiri juga dipertanyakan xD Mau kerja apa? Dapat uang
berapa? (Baru di sini nih jawabnya rohani: Nanti Tuhan sediakan. Amin. Lha aku
sendiri juga nggak tahu). Hehe. Tapi justru aku berharap dengan platform yang
aku punya, akan jadi kesempatan juga buat mengedukasi orang tentang bidang yang
(akan) aku tekuni.
Nah soal pertanyaan/kritik yang lainnya I’ll play it by ears.
Ya itu tadi – semua orang juga akan dihadapkan dengan pertanyaan yang sama kok.
Cuma beda skala saja mungkin.
So, what do you think?
Aku sih merasa semua masih normal aja. Untuk aku pribadi,
pengalamanku sebagai anak pendeta masih ada dalam batasan yang wajar. Nggak
terlalu ekstreme – aku merasa seperti teman-temanku yang lain, sama saja. Dan aku rasa over time ekspektasi orang akan berkurang. Entah deh.
Tapi justru, sebetulnya, there are a lot of perks being a PK :D
Aku belajar banyak. BANYAK.
Satu – aku belajar banyak materi dari kecil :D Hehe. Mungkin
yang bentuknya seminar, pengajaran, dan lain-lain. Semua udah tertanam di otak tanpa perlu disuruh ikut ini-itu. Ya
natural saja, karena ikut Papa dan Mama saat mengajar, aku jadi ikut belajar.
Dua – aku belajar ilmu management
dan organisasi ya dari gereja. Saat ikut meeting ini itu, aku belajar bahwa gereja
dan semua aspeknya perlu diatur dengan baik dan rapih. Setiap struktur
kepengurusan, setiap acara, setiap departemen, harus rapi.
Tiga – aku belajar untuk
terus belajar. Aku melihat bagaimana Papa mengajar pekerja dan jemaat gereja
untuk tidak berhenti memperkaya diri dengan ikut seminar, baca buku, dan
lain-lain. Bahkan di IFGF, salah satu DNA kita adalah ‘cutting edge’ – selalu relevan
dan selalu baru. Inovatif. Ya baru bisa inovatif kalau terus belajar.
Empat – aku dapet koneksi super banyak :D I’ve seen great
pastors up close, dan biasa berkesempatan untuk makan siang/malam bareng. Di
situ aku bisa mendengar mereka bicara tentang apa saja – baik tentang gereja
maupun tentang hal yang biasa saja, tapi aku belajar banyak dari mereka juga. Aku
juga dapat teman-teman yang keren – yang adalah jemaat kami! Mungkin kalau
jemaat biasa, bisa nggak saling kenal. Tapi karena PK, ya paling nggak harus
tahu sedikit-sedikit lah ini siapa, itu
siapa. Man, there are a lot of wonderful & amazing people in our Church, doing
great things in the Church & out there in their work!
Lima – I’ve been able to see up close how God is working in
our Church. Mujizat, pemeliharaan, kebutuhan yang dipenuhi. Imanku bukan
diturunkan dari orang tuaku – tapi karena aku ada di environment ini dan bisa
melihat secara langsung, it helps with my own personal journey as well.
Enam – people are praying for you and your family. Ini yang
I will always be grateful for. I don’t always remember this, tapi aku akan
mensyukurinya mulai dari sekarang. Terima kasih buat yang sudah berdoa untuk my
Dad & Mom, and their family :)
Tujuh, delapan – masih banyak. Endless. Mungkin kapan-kapan aku sambung lagi post ini :)
Puji Tuhan aku tumbuh di gereja yang nggak begitu banyak ‘politik’.
Aku tumbuh di gereja yang penuh kasih, passion
for God, penuh energi juga.
Pengalamanku nggak sama dengan pengalaman adikku, apalagi PKs lain. Semua keluarga dan PK punya pengalamannya masing-masing.
Tapi semoga sekarang you can see why I love being a PK. It's an amazing life. I
wouldn’t trade it with the world.
P.S. Nah, beda nih kalau ditanya ‘mau jadi pendeta nggak?’
Saat ini sih enggak ya. HAHA. Jangan mentang-mentang anak pendeta
terus disuruh jadi pendeta juga dong.
Gitu, sih.
Comments
Post a Comment