Seniman wannabe.

Dari dulu, aku nggak pernah menganggap diriku 'artistik'.

Aku masih ingat waktu SD, pelajaran prakarya, beberapa guru sering mengeluhkan hasil guntinganku yang nggak lurus - ada satu yang membandingkan hasil potong-potongku dengan hasil potongan seorang temen cowok. "Masak yang cowok bisa lebih rapi?" Kurang lebih gitu. Soal gambar-menggambar, apa lagi. Parah. Paling pol prakarya yang bisa aku lakukan itu mewarna. Itupun keluar-keluar garis.


Jenis kesenian yang lain, kemampuanku juga nanggung. Soal musik - bisa sedikit-sedikit. Soal seni tari, ya cuma bisa dasar-dasarnya saja.

Satu-satunya 'seni' yang aku bisa coba dan suka ya seni menulis.
Rasanya aku mulai fokus menulis itu SMA, untuk alasan iseng, dan kemudian waktu aku college, karena deg-degan tahun depannya mau ambil jurusan Creative Writing di universitas. Sebelumnya, aku fokus ke akademis aja. Nilai pelajaran-pelajaran lain lebih penting, kan? Seni itu nomor dua, begitu pikirku.

Tapi pola pikir begitu ternyata menyulitkan juga waktu aku masuk uni, di mana aku ditemukan dengan orang-orang yang 'nyeni', penulis-penulis (dan mahasiswa lain) yang artistik banget. Wah, aku merasa jadi orang paling kaku dan konservatif di antara mereka.

Walaupun gaya penulisannya oke, ceritaku kadang biasa-biasa saja, sedangkan banyak mereka seperti punya imajinasi yang tanpa batas. Bisa nyindir berbagai isu, mencakup tema-tema yang luas, dan mendobrak format-format menulis yang gitu-gitu aja.


Ini yang lantas aku amati: orang-orang tersebut memang 'artistik' di seluruh aspek hidup mereka.

Ya hidupnya memang bebas, nggak seteratur dan kaku hidupku (saat itu). Hidup mereka berputar di sekitar seni: entah menulis, musik, teater, film, puisi, fashion, dan seterusnya. Dari satu bentuk seni ke seni yang lain, setiap detik. Tidak melulu jadi aktor atau seniman utama, bisa saja mereka jadi sutradara, stage manager, dan lain-lain. Tapi hidup mereka bernafaskan seni.


Jadi akhirnya, aku menantang diriku sendiri untuk mulai mencoba 'nyeni'. Nggak harus sampai ekstreme dan filosofis. Tapi paling nggak aku nggak hanya terpaku ke kata-kata yang aku tulis di laptop dan kertas.  Aku menantang diriku untuk menemukan balance antara struktur dan keluwesan.


Hasilnya bermacam-macam. Ada yang bentuk tiny paintings, puisi, quotes, dan lain-lain.
(Dengan malu-malu, nih aku kasih beberapa contoh. Namanya apa ini? Typografi? Nggak tahu - pokoknya quote, lalu dibikin tulisan besar-kecil, kadang pakai warna, gambar, beda font, dan lain-lain.

Quotes from 2 different stories. 











Words with a little story on the side. 












Aku mencoba bermain dengan tebal-tipis, ukuran, dan juga penempatan kata.

Masih nggak artistik, I know. Ya mau gimana lagi, ya? :'))


Yang aku rasain adalah adanya kebebasan berekspresi yang baru.
Mengangkat kuas dan menuang cat, lalu menunggu gerak apa yang mau jariku ambil.
Membuka halaman baru dan beberapa bolpen, duduk di lantai, lalu menunggu sampai kata yang tepat hinggap di kertasku.
Apapun itu, langsung saja ditangkap dan dituangkan tanpa mikir.
Mikirnya adalah setelah kasaran-nya jadi, baru ide ini mau di bawa ke mana?
Topiknya kok gini - ya nggak papa. Dikerjain saja dulu.
Kalau guruku bilang, 'Biar ide jelek-jeleknya keluar semua dulu. Setelah itu nanti ide-ide bagusnsya pasti keluar'. Dan, 'write and re-write'.


Hasil eksperimennya?
Aku (merasa) jadi lebih berani mengambil resiko.
Aku coba mencampur warna ini dan itu, menariknya dengan bentuk ini - eh kurang jadi. Nggak papa, coba lagi, atau pakai ini jadi sesuatu yang lain.
Coba nulis lagu, dan format-format 'menulis' yang lain (walaupun belum berhasil).
Soal tema juga begitu - coba menulis tentang ini kok kesannya kurang cocok ya? Aku coba bertanya, kenapa mikir seperti itu? Apakah memang bukan tempatku untuk menulis tentang topik tertentu, atau hanya karena aku takut dinilai yang negatif?

Ada kejujuran yang baru, diekspresikan dengan cara yang beda.
Dan it is reflected in my writing.
Menulis rasanya lebih ringan, sekarang, karena aku nggak lagi takut tentang apa yang akan orang pikirkan.

That's me transitioning into an 'artist'.
Sort of. -ish. xD



Padahal yang berubah sebenarnya hanya satu: pola pikir.
Christie biasa = malu-malu, mau yang biasa-biasa saja
Begitu jadi (wannabe) seniman = berani jujur, 'frank'. Lebih nggak peduli kata orang, lebih peduli ke karya yang lagi dibuat.


Dan perjalanan Christie sebagai seniman masih panjang!
A lot more risks to take, both structurally and creatively,
supaya karya-karya yang dihasilkan lebih substantial. Lebih penting dan bisa berdampak positif.

Biarpun butuh kerja keras, tapi yang pasti perjalanan ini akan menyenangkan dan penuh warna.



I wonder how many people will be liberated of their burdensome life/struggles 
if only they change their mindset. 

Comments

Popular Posts